Si Pitung adalah seorang pemuda yang soleh dari Rawa Belong. Ia rajin
belajar mengaji pada Haji Naipin. Selesai belajar mengaji ia pun
dilatih silat. Setelah bertahun- tahun kemampuannya menguasai ilmu agama
dan bela diri makin meningkat.
Pada waktu itu Belanda sedang menjajah Indonesia. Si Pitung merasa
iba menyaksikan penderitaan yang dialami oleh rakyat kecil. Sementara
itu, kumpeni (sebutan untuk Belanda), sekelompok Tauke dan para Tuan
tanah hidup bergelimang kemewahan. Rumah dan ladang mereka dijaga oleh
para centeng yang galak.
Dengan dibantu oleh teman-temannya si Rais dan Jii, Si Pitung mulai
merencanakan perampokan terhadap rumah Tauke dan Tuan tanah kaya. Hasil
rampokannya dibagi-bagikan pada rakyat miskin. Di depan rumah keluarga
yang kelaparan diletakkannya sepikul beras. Keluarga yang dibelit hutang
rentenir diberikannya santunan. Dan anak yatim piatu dikiriminya
bingkisan baju dan hadiah lainnya.
Kesuksesan si Pitung dan kawan-kawannya dikarenakan dua hal. Pertama,
ia memiliki ilmu silat yang tinggi serta dikhabarkan tubuhnya kebal
akan peluru. Kedua, orang-orang tidak mau menceritakan dimana si Pitung
kini berada. Namun demikian orang kaya korban perampokan Si Pitung
bersama kumpeni selalu berusaha membujuk orang-orang untuk membuka
mulut.
Kumpeni juga menggunakan kekerasan untuk memaksa penduduk memberi
keterangan. Pada suatu hari, kumpeni dan tuan-tuan tanah kaya berhasil
mendapat informasi tentang keluarga si Pitung. Maka merekapun menyandera
kedua orang tuanya dan si Haji Naipin. Dengan siksaan yang berat
akhirnya mereka mendapatkan informasi tentang dimana Si Pitung berada
dan rahasia kekebalan tubuhnya.
Berbekal semua informasi itu, polisi kumpeni pun menyergap Si Pitung.
Tentu saja Si Pitung dan kawan-kawannya melawan. Namun malangnya,
informasi tentang rahasia kekebalan tubuh Si Pitung sudah terbuka. Ia
dilempari telur-telur busuk dan ditembak. Ia pun tewas seketika.Meskipun
demikian untuk Jakarta, Si Pitung tetap dianggap sebagai pembela rakyat
kecil.
Selasa, 25 Juni 2013
Kamis, 13 Juni 2013
Kriteria Kemiskinan menurut Keluarga Sejahtera (KS)
Indikator dan Kriteria Keluarga
Indikator Keluarga Sejahtera pada dasarnya berangkat dari pokok pikiran yang terkandung didalam undang-undang no. 10 Tahun 1992 disertai asumsi bahwa kesejahteraan merupakan variabel komposit yang terdiri dari berbagai indikator yang spesifik dan operasional. Karena indikator yang yang dipilih akan digunakan oleh kader di desa, yang pada umumnya tingkat pendidikannya relatif rendah, untuk mengukur derajat kesejahteraan para anggotanya dan sekaligus sebagai pegangan untuk melakukan melakukan intervensi, maka indikator tersebut selain harus memiliki validitas yang tinggi, juga dirancang sedemikian rupa, sehingga cukup sederhana dan secara operasional dapat di pahami dan dilakukan oleh masyarakat di desa.
Atas dasar pemikiran di atas, maka indikator dan kriteria keluarga sejahtera yang ditetapkan adalah sebagai berikut :
a) Keluarga Pra Sejahtera
Adalah keluarga yang belum dapat memenuhi salah satu atau lebih dari 5 kebutuhan dasarnya (basic needs) Sebagai keluarga Sejahtera I, seperti kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, papan, sandang dan kesehatan.
b) Keluarga Sejahtera Tahap I
Adalah keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal yaitu:
1. Melaksanakan ibadah menurut agama oleh masing-masing anggota keluarga.
2. Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan 2 (dua) kali sehari atau lebih.
3. Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian.
4. Bagian yang terluas dari lantai rumah bukan dari tanah.
5. Bila anak sakit atau pasangan usia subur ingin ber-KB dibawa ke sarana/petugas kesehatan.
c) Keluarga Sejahtera tahap II
Yaitu keluarga-keluarga yang disamping telah dapat memenuhi kriteria keluarga sejahtera I, harus pula memenuhi syarat sosial psikologis 6 sampai 14 yaitu :
6. Anggota Keluarga melaksanakan ibadah secara teratur.
7. Paling kurang, sekali seminggu keluarga menyediakan daging/ikan/telur sebagai lauk pauk.
8. Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru per tahun.
9. Luas lantai rumah paling kurang delapan meter persegi tiap penghuni rumah.
10. Seluruh anggota keluarga dalam 3 bulan terakhir dalam keadaan sehat.
11. Paling kurang 1 (satu) orang anggota keluarga yang berumur 15 tahun keatas mempunyai penghasilan tetap.
12. Seluruh anggota keluarga yang berumur 10-60 tahun bisa membaca tulisan latin.
13. Seluruh anak berusia 5 - 15 tahun bersekolah pada saat ini.
14. Bila anak hidup 2 atau lebih, keluarga yang masih pasangan usia subur memakai kontrasepsi (kecuali sedang hamil)
d) Keluarga Sejahtera Tahap III
Yaitu keluarga yang memenuhi syarat 1 sampai 14 dan dapat pula memenuhi syarat 15 sampai 21, syarat pengembangan keluarga yaitu :
15. Mempunyai upaya untuk meningkatkan pengetahuan agama.
16. Sebagian dari penghasilan keluarga dapat disisihkan untuk tabungan keluarga untuk tabungan keluarga.
17. Biasanya makan bersama paling kurang sekali sehari dan kesempatan itu dimanfaatkan untuk berkomunikasi antar anggota keluarga.
18. Ikut serta dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.
19. Mengadakan rekreasi bersama diluar rumah paling kurang 1 kali/6 bulan.
20. Dapat memperoleh berita dari surat kabar/TV/majalah.
21. Anggota keluarga mampu menggunakan sarana transportasi yang sesuai dengan kondisi daerah setempat.
e) Keluarga Sejahtera Tahap III Plus
Keluarga yang dapat memenuhi kriteria I sampai 21 dan dapat pula memenuhi kriteria 22 dan 23 kriteria pengembangan keluarganya yaitu :
22. Secara teratur atau pada waktu tertentu dengan sukarela memberikan sumbangan bagi kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk materiil.
23. Kepala Keluarga atau anggota keluarga aktif sebagai pengurus perkumpulan/yayasan/institusi masyarakat.
f) Keluarga Miskin
adalah keluarga Pra Sejahtera alasan ekonomi dan KS - I karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi :
a. Paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging/ikan/telor.
b. Setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru.
c. Luas lantai rumah paling kurang 8 meter persegi untuk tiap penghuni.
g) Keluarga Miskin Sekali
adalah keluarga Pra Sejahtera alasan ekonomi dan KS - I karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi :
a. Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan 2 kali sehari atau lebih.
b. Anggota keluarga memiliki pakaian berbeda untuk dirumah, bekerja/sekolah dan bepergian.
c. Bagian lantai yang terluas bukan dari tanah.
http://www.bkkbn-jatim.go.id/bkkbn-jatim/html/indikasi.htm
Indikator Keluarga Sejahtera pada dasarnya berangkat dari pokok pikiran yang terkandung didalam undang-undang no. 10 Tahun 1992 disertai asumsi bahwa kesejahteraan merupakan variabel komposit yang terdiri dari berbagai indikator yang spesifik dan operasional. Karena indikator yang yang dipilih akan digunakan oleh kader di desa, yang pada umumnya tingkat pendidikannya relatif rendah, untuk mengukur derajat kesejahteraan para anggotanya dan sekaligus sebagai pegangan untuk melakukan melakukan intervensi, maka indikator tersebut selain harus memiliki validitas yang tinggi, juga dirancang sedemikian rupa, sehingga cukup sederhana dan secara operasional dapat di pahami dan dilakukan oleh masyarakat di desa.
Atas dasar pemikiran di atas, maka indikator dan kriteria keluarga sejahtera yang ditetapkan adalah sebagai berikut :
a) Keluarga Pra Sejahtera
Adalah keluarga yang belum dapat memenuhi salah satu atau lebih dari 5 kebutuhan dasarnya (basic needs) Sebagai keluarga Sejahtera I, seperti kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, papan, sandang dan kesehatan.
b) Keluarga Sejahtera Tahap I
Adalah keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal yaitu:
1. Melaksanakan ibadah menurut agama oleh masing-masing anggota keluarga.
2. Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan 2 (dua) kali sehari atau lebih.
3. Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian.
4. Bagian yang terluas dari lantai rumah bukan dari tanah.
5. Bila anak sakit atau pasangan usia subur ingin ber-KB dibawa ke sarana/petugas kesehatan.
c) Keluarga Sejahtera tahap II
Yaitu keluarga-keluarga yang disamping telah dapat memenuhi kriteria keluarga sejahtera I, harus pula memenuhi syarat sosial psikologis 6 sampai 14 yaitu :
6. Anggota Keluarga melaksanakan ibadah secara teratur.
7. Paling kurang, sekali seminggu keluarga menyediakan daging/ikan/telur sebagai lauk pauk.
8. Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru per tahun.
9. Luas lantai rumah paling kurang delapan meter persegi tiap penghuni rumah.
10. Seluruh anggota keluarga dalam 3 bulan terakhir dalam keadaan sehat.
11. Paling kurang 1 (satu) orang anggota keluarga yang berumur 15 tahun keatas mempunyai penghasilan tetap.
12. Seluruh anggota keluarga yang berumur 10-60 tahun bisa membaca tulisan latin.
13. Seluruh anak berusia 5 - 15 tahun bersekolah pada saat ini.
14. Bila anak hidup 2 atau lebih, keluarga yang masih pasangan usia subur memakai kontrasepsi (kecuali sedang hamil)
d) Keluarga Sejahtera Tahap III
Yaitu keluarga yang memenuhi syarat 1 sampai 14 dan dapat pula memenuhi syarat 15 sampai 21, syarat pengembangan keluarga yaitu :
15. Mempunyai upaya untuk meningkatkan pengetahuan agama.
16. Sebagian dari penghasilan keluarga dapat disisihkan untuk tabungan keluarga untuk tabungan keluarga.
17. Biasanya makan bersama paling kurang sekali sehari dan kesempatan itu dimanfaatkan untuk berkomunikasi antar anggota keluarga.
18. Ikut serta dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.
19. Mengadakan rekreasi bersama diluar rumah paling kurang 1 kali/6 bulan.
20. Dapat memperoleh berita dari surat kabar/TV/majalah.
21. Anggota keluarga mampu menggunakan sarana transportasi yang sesuai dengan kondisi daerah setempat.
e) Keluarga Sejahtera Tahap III Plus
Keluarga yang dapat memenuhi kriteria I sampai 21 dan dapat pula memenuhi kriteria 22 dan 23 kriteria pengembangan keluarganya yaitu :
22. Secara teratur atau pada waktu tertentu dengan sukarela memberikan sumbangan bagi kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk materiil.
23. Kepala Keluarga atau anggota keluarga aktif sebagai pengurus perkumpulan/yayasan/institusi masyarakat.
f) Keluarga Miskin
adalah keluarga Pra Sejahtera alasan ekonomi dan KS - I karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi :
a. Paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging/ikan/telor.
b. Setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru.
c. Luas lantai rumah paling kurang 8 meter persegi untuk tiap penghuni.
g) Keluarga Miskin Sekali
adalah keluarga Pra Sejahtera alasan ekonomi dan KS - I karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi :
a. Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan 2 kali sehari atau lebih.
b. Anggota keluarga memiliki pakaian berbeda untuk dirumah, bekerja/sekolah dan bepergian.
c. Bagian lantai yang terluas bukan dari tanah.
http://www.bkkbn-jatim.go.id/bkkbn-jatim/html/indikasi.htm
Rabu, 12 Juni 2013
Politik dan Kemiskinan di Indonesia
Nama : Ambar dwi ryanto
Npm : 10211662
Kelas : 2ea20
Mata kuliah : Pendidikan Pancasila
Dosen : Emiliansyah Banowo
Kata pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Makalah yang berjudul “Politik dan Kemiskinan di Indonesia” ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Dalam penulisan makalah ini, penyusun banyak menerima bantuan moril dan materiil dari berbagai pihak yang mendorong penyusun untuk segera menyelesaikan tugas ini dengan sebaik-baiknya. Pada kesempatan ini pula, penyusun ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini, diantaranya adalah:
1. Bapak Emilianshah Banowo selaku dosen mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
2. Kedua orang tua yang telah memberi dukungan baik berupa materiil maupun moril.
3. Seluruh pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa penulisan makalah ini tidak luput dari kesalahan dan belum sempurna dalam penyusunannya, oleh karena itu penyusunmengharapkan saran dan kritik dari pembaca yang bersifat membangun. Akhir kata, penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pada November 2011, Perkumpulan Prakarsa, sebuah lembaga independen yang berfokus pada studi mengenai pembangunan dan kesejahteraan di Indonesia, mempublikasikan sebuah paper menarik bertajuk “Kemiskinan Melonjak, Jurang Ketimpangan Melebar.” Paper ini ditulis dengan analisis yang begitu bertenaga dan syarat akan data. Salah satu tema yang diulas adalah mengenai “Politik Angka Kemiskinan”. Ada “kekhawatiran” bahwa terkait perhitungan kemiskinan di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) telah dijadikan alat politik oleh pemerintah. Tentu saja, untuk apalagi kalau bukan pencitraan.
Manfaat Penulisan
Manfaat Penulisan dalam makalah ditujukan untuk mengetahui kegunaan nyata yang merupakan hasil dari pembahasan masalah yang terdapat dalam makalah. Ada pun manfaat penulisan sebagai berikut :
1. Mengetahui tentang “Politik dan Kemiskinan di Indonesia”.
2. Mengetahui tetang konsep “Politik Angka Kemiskinan”.
BAB II
PEMBAHASAN
Politik dan Kemiskinan di Indonesia
Pemerintah akan menaikkan besaran bantuan tunai langsung untuk masyarakat miskin menjadi Rp150.000 dari Rp100.000 per keluarga. Bantuan ini diberikan sebagai kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi yang diberlakukan mulai bulan depan.Orientasi kebijakan tersebut menunjukkan pemerintah seolah tidak pernah belajar dari pengalaman. Suatu cara berpikir kebijakan yang tidak bervisi dalam mengatasi kemiskinan sesungguhnya. Apa yang dilakukan justru hanya akan mendidik rakyat bermental pengemis, dan jauh dari menciptakan kemandirian.Dapat ditebak dengan cepat bahwa kebijakan tersebut bersifat pragmatis hanya untuk mencari dukungan politik semata.Orientasi penguasa sekedar mencari dukungan politik sesaat. Kemerdekaan rakyat tidak menjadi perhatian utama, alihalihjustrumenciptakanrakyat ke dalam jurang kesengsaraan.Sudah terbukti di masa lalu bahwa kebijakan seperti itu gagal mengatasi kemiskinan. Angka kemiskinan justru semakin meningkat. Dengan bantuan langsung, rakyat tidak mampu menjadi manusia mandiri.
Kebijakan tersebut hanya akan mendorong rakyat bermental pengemis. Tanpa disadari bahwa hal tersebut akan semakin membuat rakyat berada dalam posisi tergantung pada penguasa. Pada akhirnya, penguasa denganmudahmerekayasakepentingan demi kekuasaan. Rakyat pun potensial kehilangan posisi tawar dalam berbagai pengambilan keputusan politik. Rakyat mudah digiring dalam berbagai kemauan politik penguasa. Berbagai kecurigaan pun muncul bahwa ini semua dilakukan agar rakyat mudah dikendalikan menjadi alat kekuasaan.
Negara Sinterklas
Tak pelak kebijakan bantuan tunai seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) menuai banyak kritik tajam. Dalam upaya mengatasi kemiskinan, pemerintah lebih cenderung berusaha mengatasi rasa sakit jangka pendek. Rakyat akan terdidik bermental konsumtif. Pemerintah tidak serius dalam membongkar akar kemiskinan sesungguhnya selama ini.Padahal dana besar yang disalurkan dalam bantuan tunai melalui PKH akan lebih efektif jika dimanfaatkan untuk program jangka panjang, misalnya dalam bentuk keterampilan dan modal. Kecuali dalam keadaan darurat, hampir tidak ada argumentasi apapun yang secara rasional masuk di akal sehat kebijakan membagi-bagi uang kepada masyarakat. Justru kebijakan tersebut dicurigai sarat dengan berbagai kepentingan politik dan pencitraan kekuasaan.Kemiskinan Indonesia tidak akan bisa tuntas dengan model kebijakan seperti ini. Kita justru akan semakin sengsara bila mendasarkan kebijakan yang seolah-olah memihak rakyat, tapi nyatanya sama sekali tidak demikian. Negara bukanlah sosok sinterklas yang hanya datang pada momen-momen tertentu untuk menghibur anak-anak. Negara bukan untuk menghibur, melainkan melindungi warganya dari penderitaan.
Hiburan itu sangat kecil maknanya dibandingkan dengan beban penderitaan yang akan ditanggung rakyat dari sebuah kebijakan yang dilakukan tanpa visi yang sehat. Negara harus benar-benar menyadari bahwa problem kemiskinan di negeri ini benarbenar pelik. Kita bahkan terlalu sering meributkan mengenai berapa banyak jumlah orang miskin di negeri ini. Penguasa selalu bermulut manis melaporkan angka kemiskinan yang terus berkurang. Faktanya, kita semua merasakan, tidaklah seperti demikian.Tak bisa dimungkiri faktor politik merupakan penyebab kemiskinan di Indonesia, di masa lalu dan sampai sekarang. Pengalaman di era Orde Baru pertumbuhan ekonomi yang semakin bagus bagi sebagian besar orang justru merupakan bencana. Tak lain karena antara yang bertumbuh dan merana semakin dalam jurang pemisahnya. Banyak orang yang dibuat bangga dalam kubangan kemiskinan. Membanggakan angka pertumbuhan yang tidak berurat nadi pada kenyataan hidup sebagian besar rakyat Indonesia.
Sudah semenjak dulu kemiskinan hanya dijadikan alat atau isu belaka. Tidak pernah dicarikan jalan keluar secara serius untuk mengatasi kemiskinan itu sendiri. Kemiskinan menjadi isu yang terbaik untuk mencari dukungan rakyat miskin. Sungguh ironis karena tanpa elite menyadarinya, merekamereka terlalu sering menjual rakyat miskin atas nama kemiskinan mereka.Sulit akal sehat bisa menerima fakta bahwa di negara yang terus-menerus melakukan pembangunan ekonomi dan memiliki konstitusi jelas meningkatkan kesejahteraan rakyat, jumlah kaum miskin dan mereka yang kelaparan justru meningkat. Diakui atau tidak, krisis ekonomi tidak selalu menjadi alasan yang baik untuk memberikan penjelasan soal ini. Ketidak jelasan orientasi kebijakan ekonomi serta kondisi politik bangsa inilah yang menyebabkan sulitnya Indonesia keluar dari krisis.Sumber bencana utama negeri ini sangat mungkin terjadi karena selama ini kebijakan ekonomi tidak diarahkan atau berpihak pada penguatan masyarakat kecil. Kebijakan ekonomi terlalu mendongak ke atas, dan tak jarang menjadikan rakyat kecil sebagai “batu injakan” saja. Alih-alih memperkuat ekonomi rakyat dan memperjuangkan dengan sungguhsungguh nasib rakyat dari derita kemiskinan dan pengangguran, justru yang terjadi kesejahteraan rakyat kecil diabaikan.
Layak disadari oleh semua pihak bahwa akar kemiskinan di Indonesia lebih banyak disebabkan masalah-masalah struktural. Rakyat Indonesia bukan bangsa pemalas dan dengan demikian miskin karena sikap malasnya. Umumnya kemiskinan Indonesia karena pemerintah dan kebijakannya abai dan sering menutup dan membatasi akses perekonomian rakyat. Banyak situasi yang menyebabkan masyarakat tidak bisa melakukan kegiatan produktifnya secara penuh.Adanya kebijakan pembangunan yang tidak tepat sasaran merupakan sebab struktural yang penyelesaiannya harus melalui tindakan struktural pula. Selain itu, selama ini pembangunan tidak memperhatikan aspek kehidupan dalam jangka pangan dan hanya berorientasi memenuhi kebutuhan material belaka. Pembangunanbukansaja telah gagal menyejahterakan manusia, melainkan juga merupakan biang dari masalah.Selama ini pembangunan tidak menciptakan kemerdekaan dan kesejahteraan di tengah masyarakat. Pembangunan hanya sekedar alat bagi kapital untuk berkuasa.
Kebiasaan mengabaikan pelajaran masa lalu sudah mendarah daging sebagai mental penguasa. Itu semua mengakibatkan kekuasaan bebal dan tidak mau mendengarkan jeritan penderitaan rakyat.Kebijakan yang hanya berorientasi jangka pendek dan efektivitasnya diragukan sudah seharusnya mendapatkan evaluasi. Justru tantangan mengatasi kemiskinan di negeri ini semakin berat. Pemerintah perlu belajar banyak dari pengalaman mengelola problem kemiskinan yang terjadi. Itu semua perlu dipertimbangkan agar pemerintah terhindar dari tuduhan hanya mempermainkan orang miskin untuk kepentingan kekuasaan.
Politik Angka Kemiskinan
Perkumpulan Prakarsa, sebuah lembaga independen yang berfokus pada studi mengenai pembangunan dan kesejahteraan di Indonesia, mempublikasikan sebuah paper menarik bertajuk “Kemiskinan Melonjak, Jurang Ketimpangan Melebar.” Paper ini ditulis dengan analisis yang begitu bertenaga dan syarat akan data. Salah satu tema yang diulas adalah mengenai “Politik Angka Kemiskinan”. Ada “kekhawatiran” bahwa terkait perhitungan kemiskinan di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) telah dijadikan alat politik oleh pemerintah. Tentu saja, untuk apalagi kalau bukan pencitraan.
Kekhawatiran ini memang wajar, mengingat di satu sisi BPS merupakan lembaga bentukan pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada presiden sementara di sisi lain statistik kemiskinan yang dihitung BPS merupakan salah satu tolak ukur baik-buruknya kinerja pemerintah. Terkait hal ini, statistik kemiskinan yang dihasilkan BPS tentu sangat rentan untuk dipolitisasi.
Dala m hal ini, bisa saja BPS menggunakan standar kemiskinan (garis kemiskinan) yang sengaja dibuat minimal (konservatif) agar statistik kemiskinan yang dihasilkan sesuai dengan “pesanan” pemerintah. Inilah yang dimaksud dengan politik angka kemiskinan menurut Perkumpulan Prakarsa. Jika hal ini benar terjadi, tentu sangat berbahaya dan tidak manusiawa. Tega-teganya, jumlah penduduk miskin dipermainkan dan diramu sedemikian rupa oleh BPS hanya untuk menyenang-nyenangkan penguasa.
“Saudara-saudara kita yang saat ini tengah bergulat dengan kemiskinan itu sama sekali tak butuh data atau angka, yang mereka butuhkan adalah upaya kita semua untuk membantu mereka keluar dari lembah kemiskinan. Dan, segala upaya itu tidak akan maksimal jika tidak didukung dengan data yang akurat”, demikian dalam papernya.
Kekhawatiran Perkumpulan Prakarsa terkait kemungkinan adanya politisasi angka kemiskinan didasari sebuah laporan bertajuk Poverty in Asia and Pacific: An Update yang dipublikasikan Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB) pada Agustustus 2011. Kaitan itu, ADB melaporkan bahwa dengan menggunakan garis kemiskinan sebesar 1,25 dollar AS (PPP) perkembangan kemiskinan di Indonesia sepanjang tahun 2008-2010 cenderung memburuk. Jumlah penduduk miskin dilaporkan bertambah sebanyak 2,7 juta jiwa, yakni dari 40,4 juta jiwa di 2008 menjadi 43,1 juta jiwa di 2010. Kemiskinan di Indonesia juga dilaporkan lebih buruk dibanding negara-negara lain di ASEAN.
Anehnya pada saat yang sama, statistik kemiskinan resmi versi BPS justru menunjukkan sebaliknya, jumlah penduduk miskin di Indonesia terus menurun secara konsisten dengan penurunan yang cukup fantastis, yakni mencapai 3,94 juta jiwa sepanjang 2008-2010. Jumlah penduduk miskin yang dilaporkan BPS juga jauh lebih rendah dibanding laporan ADB, yakni hanya sebanyak 34,96 juta jiwa di 2008 dan 31,02 juta jiwa di 2010.
Wajar kalau kemudian perbedaan yang begitu jomplang ini telah memunculkan kekhawatiran bahwa telah terjadi apa yang disebut sebagai “politik angka kemiskinan” oleh Perkumpulan Prakarsa. Apalagi, setelah ditelisik ternyata sumber perbedaan itu adalah perbedaan standar atau garis kemiskinan yang digunakan. Garis kemiskinan yang digunakan BPS ternyata sedikit lebih rendah dibanding garis kemiskinan yang digunakan ADB
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pernyataan di atas dapat kita tarik kesimpulan politik dan kemiskinan saling berhubungan di mana sebuah partai politik dapat ikut campur dalam hal ini di karnakan dalam mengikut sertakan sebuah partai dalam hal kemiskinan maka partai tersebut akan mendapat sebuah pencitraan baik dari masyarakat. Adapun berbagai cara memberantas kemiskinan :
• Kesadaran dari masyarakat itu sendiri untuk dapat kehidupan yang lebih layak.
• Membuka/menciptakan lapangan pekerjaan.
Npm : 10211662
Kelas : 2ea20
Mata kuliah : Pendidikan Pancasila
Dosen : Emiliansyah Banowo
Kata pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Makalah yang berjudul “Politik dan Kemiskinan di Indonesia” ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Dalam penulisan makalah ini, penyusun banyak menerima bantuan moril dan materiil dari berbagai pihak yang mendorong penyusun untuk segera menyelesaikan tugas ini dengan sebaik-baiknya. Pada kesempatan ini pula, penyusun ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini, diantaranya adalah:
1. Bapak Emilianshah Banowo selaku dosen mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
2. Kedua orang tua yang telah memberi dukungan baik berupa materiil maupun moril.
3. Seluruh pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa penulisan makalah ini tidak luput dari kesalahan dan belum sempurna dalam penyusunannya, oleh karena itu penyusunmengharapkan saran dan kritik dari pembaca yang bersifat membangun. Akhir kata, penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pada November 2011, Perkumpulan Prakarsa, sebuah lembaga independen yang berfokus pada studi mengenai pembangunan dan kesejahteraan di Indonesia, mempublikasikan sebuah paper menarik bertajuk “Kemiskinan Melonjak, Jurang Ketimpangan Melebar.” Paper ini ditulis dengan analisis yang begitu bertenaga dan syarat akan data. Salah satu tema yang diulas adalah mengenai “Politik Angka Kemiskinan”. Ada “kekhawatiran” bahwa terkait perhitungan kemiskinan di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) telah dijadikan alat politik oleh pemerintah. Tentu saja, untuk apalagi kalau bukan pencitraan.
Manfaat Penulisan
Manfaat Penulisan dalam makalah ditujukan untuk mengetahui kegunaan nyata yang merupakan hasil dari pembahasan masalah yang terdapat dalam makalah. Ada pun manfaat penulisan sebagai berikut :
1. Mengetahui tentang “Politik dan Kemiskinan di Indonesia”.
2. Mengetahui tetang konsep “Politik Angka Kemiskinan”.
BAB II
PEMBAHASAN
Politik dan Kemiskinan di Indonesia
Pemerintah akan menaikkan besaran bantuan tunai langsung untuk masyarakat miskin menjadi Rp150.000 dari Rp100.000 per keluarga. Bantuan ini diberikan sebagai kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi yang diberlakukan mulai bulan depan.Orientasi kebijakan tersebut menunjukkan pemerintah seolah tidak pernah belajar dari pengalaman. Suatu cara berpikir kebijakan yang tidak bervisi dalam mengatasi kemiskinan sesungguhnya. Apa yang dilakukan justru hanya akan mendidik rakyat bermental pengemis, dan jauh dari menciptakan kemandirian.Dapat ditebak dengan cepat bahwa kebijakan tersebut bersifat pragmatis hanya untuk mencari dukungan politik semata.Orientasi penguasa sekedar mencari dukungan politik sesaat. Kemerdekaan rakyat tidak menjadi perhatian utama, alihalihjustrumenciptakanrakyat ke dalam jurang kesengsaraan.Sudah terbukti di masa lalu bahwa kebijakan seperti itu gagal mengatasi kemiskinan. Angka kemiskinan justru semakin meningkat. Dengan bantuan langsung, rakyat tidak mampu menjadi manusia mandiri.
Kebijakan tersebut hanya akan mendorong rakyat bermental pengemis. Tanpa disadari bahwa hal tersebut akan semakin membuat rakyat berada dalam posisi tergantung pada penguasa. Pada akhirnya, penguasa denganmudahmerekayasakepentingan demi kekuasaan. Rakyat pun potensial kehilangan posisi tawar dalam berbagai pengambilan keputusan politik. Rakyat mudah digiring dalam berbagai kemauan politik penguasa. Berbagai kecurigaan pun muncul bahwa ini semua dilakukan agar rakyat mudah dikendalikan menjadi alat kekuasaan.
Negara Sinterklas
Tak pelak kebijakan bantuan tunai seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) menuai banyak kritik tajam. Dalam upaya mengatasi kemiskinan, pemerintah lebih cenderung berusaha mengatasi rasa sakit jangka pendek. Rakyat akan terdidik bermental konsumtif. Pemerintah tidak serius dalam membongkar akar kemiskinan sesungguhnya selama ini.Padahal dana besar yang disalurkan dalam bantuan tunai melalui PKH akan lebih efektif jika dimanfaatkan untuk program jangka panjang, misalnya dalam bentuk keterampilan dan modal. Kecuali dalam keadaan darurat, hampir tidak ada argumentasi apapun yang secara rasional masuk di akal sehat kebijakan membagi-bagi uang kepada masyarakat. Justru kebijakan tersebut dicurigai sarat dengan berbagai kepentingan politik dan pencitraan kekuasaan.Kemiskinan Indonesia tidak akan bisa tuntas dengan model kebijakan seperti ini. Kita justru akan semakin sengsara bila mendasarkan kebijakan yang seolah-olah memihak rakyat, tapi nyatanya sama sekali tidak demikian. Negara bukanlah sosok sinterklas yang hanya datang pada momen-momen tertentu untuk menghibur anak-anak. Negara bukan untuk menghibur, melainkan melindungi warganya dari penderitaan.
Hiburan itu sangat kecil maknanya dibandingkan dengan beban penderitaan yang akan ditanggung rakyat dari sebuah kebijakan yang dilakukan tanpa visi yang sehat. Negara harus benar-benar menyadari bahwa problem kemiskinan di negeri ini benarbenar pelik. Kita bahkan terlalu sering meributkan mengenai berapa banyak jumlah orang miskin di negeri ini. Penguasa selalu bermulut manis melaporkan angka kemiskinan yang terus berkurang. Faktanya, kita semua merasakan, tidaklah seperti demikian.Tak bisa dimungkiri faktor politik merupakan penyebab kemiskinan di Indonesia, di masa lalu dan sampai sekarang. Pengalaman di era Orde Baru pertumbuhan ekonomi yang semakin bagus bagi sebagian besar orang justru merupakan bencana. Tak lain karena antara yang bertumbuh dan merana semakin dalam jurang pemisahnya. Banyak orang yang dibuat bangga dalam kubangan kemiskinan. Membanggakan angka pertumbuhan yang tidak berurat nadi pada kenyataan hidup sebagian besar rakyat Indonesia.
Sudah semenjak dulu kemiskinan hanya dijadikan alat atau isu belaka. Tidak pernah dicarikan jalan keluar secara serius untuk mengatasi kemiskinan itu sendiri. Kemiskinan menjadi isu yang terbaik untuk mencari dukungan rakyat miskin. Sungguh ironis karena tanpa elite menyadarinya, merekamereka terlalu sering menjual rakyat miskin atas nama kemiskinan mereka.Sulit akal sehat bisa menerima fakta bahwa di negara yang terus-menerus melakukan pembangunan ekonomi dan memiliki konstitusi jelas meningkatkan kesejahteraan rakyat, jumlah kaum miskin dan mereka yang kelaparan justru meningkat. Diakui atau tidak, krisis ekonomi tidak selalu menjadi alasan yang baik untuk memberikan penjelasan soal ini. Ketidak jelasan orientasi kebijakan ekonomi serta kondisi politik bangsa inilah yang menyebabkan sulitnya Indonesia keluar dari krisis.Sumber bencana utama negeri ini sangat mungkin terjadi karena selama ini kebijakan ekonomi tidak diarahkan atau berpihak pada penguatan masyarakat kecil. Kebijakan ekonomi terlalu mendongak ke atas, dan tak jarang menjadikan rakyat kecil sebagai “batu injakan” saja. Alih-alih memperkuat ekonomi rakyat dan memperjuangkan dengan sungguhsungguh nasib rakyat dari derita kemiskinan dan pengangguran, justru yang terjadi kesejahteraan rakyat kecil diabaikan.
Layak disadari oleh semua pihak bahwa akar kemiskinan di Indonesia lebih banyak disebabkan masalah-masalah struktural. Rakyat Indonesia bukan bangsa pemalas dan dengan demikian miskin karena sikap malasnya. Umumnya kemiskinan Indonesia karena pemerintah dan kebijakannya abai dan sering menutup dan membatasi akses perekonomian rakyat. Banyak situasi yang menyebabkan masyarakat tidak bisa melakukan kegiatan produktifnya secara penuh.Adanya kebijakan pembangunan yang tidak tepat sasaran merupakan sebab struktural yang penyelesaiannya harus melalui tindakan struktural pula. Selain itu, selama ini pembangunan tidak memperhatikan aspek kehidupan dalam jangka pangan dan hanya berorientasi memenuhi kebutuhan material belaka. Pembangunanbukansaja telah gagal menyejahterakan manusia, melainkan juga merupakan biang dari masalah.Selama ini pembangunan tidak menciptakan kemerdekaan dan kesejahteraan di tengah masyarakat. Pembangunan hanya sekedar alat bagi kapital untuk berkuasa.
Kebiasaan mengabaikan pelajaran masa lalu sudah mendarah daging sebagai mental penguasa. Itu semua mengakibatkan kekuasaan bebal dan tidak mau mendengarkan jeritan penderitaan rakyat.Kebijakan yang hanya berorientasi jangka pendek dan efektivitasnya diragukan sudah seharusnya mendapatkan evaluasi. Justru tantangan mengatasi kemiskinan di negeri ini semakin berat. Pemerintah perlu belajar banyak dari pengalaman mengelola problem kemiskinan yang terjadi. Itu semua perlu dipertimbangkan agar pemerintah terhindar dari tuduhan hanya mempermainkan orang miskin untuk kepentingan kekuasaan.
Politik Angka Kemiskinan
Perkumpulan Prakarsa, sebuah lembaga independen yang berfokus pada studi mengenai pembangunan dan kesejahteraan di Indonesia, mempublikasikan sebuah paper menarik bertajuk “Kemiskinan Melonjak, Jurang Ketimpangan Melebar.” Paper ini ditulis dengan analisis yang begitu bertenaga dan syarat akan data. Salah satu tema yang diulas adalah mengenai “Politik Angka Kemiskinan”. Ada “kekhawatiran” bahwa terkait perhitungan kemiskinan di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) telah dijadikan alat politik oleh pemerintah. Tentu saja, untuk apalagi kalau bukan pencitraan.
Kekhawatiran ini memang wajar, mengingat di satu sisi BPS merupakan lembaga bentukan pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada presiden sementara di sisi lain statistik kemiskinan yang dihitung BPS merupakan salah satu tolak ukur baik-buruknya kinerja pemerintah. Terkait hal ini, statistik kemiskinan yang dihasilkan BPS tentu sangat rentan untuk dipolitisasi.
Dala m hal ini, bisa saja BPS menggunakan standar kemiskinan (garis kemiskinan) yang sengaja dibuat minimal (konservatif) agar statistik kemiskinan yang dihasilkan sesuai dengan “pesanan” pemerintah. Inilah yang dimaksud dengan politik angka kemiskinan menurut Perkumpulan Prakarsa. Jika hal ini benar terjadi, tentu sangat berbahaya dan tidak manusiawa. Tega-teganya, jumlah penduduk miskin dipermainkan dan diramu sedemikian rupa oleh BPS hanya untuk menyenang-nyenangkan penguasa.
“Saudara-saudara kita yang saat ini tengah bergulat dengan kemiskinan itu sama sekali tak butuh data atau angka, yang mereka butuhkan adalah upaya kita semua untuk membantu mereka keluar dari lembah kemiskinan. Dan, segala upaya itu tidak akan maksimal jika tidak didukung dengan data yang akurat”, demikian dalam papernya.
Kekhawatiran Perkumpulan Prakarsa terkait kemungkinan adanya politisasi angka kemiskinan didasari sebuah laporan bertajuk Poverty in Asia and Pacific: An Update yang dipublikasikan Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB) pada Agustustus 2011. Kaitan itu, ADB melaporkan bahwa dengan menggunakan garis kemiskinan sebesar 1,25 dollar AS (PPP) perkembangan kemiskinan di Indonesia sepanjang tahun 2008-2010 cenderung memburuk. Jumlah penduduk miskin dilaporkan bertambah sebanyak 2,7 juta jiwa, yakni dari 40,4 juta jiwa di 2008 menjadi 43,1 juta jiwa di 2010. Kemiskinan di Indonesia juga dilaporkan lebih buruk dibanding negara-negara lain di ASEAN.
Anehnya pada saat yang sama, statistik kemiskinan resmi versi BPS justru menunjukkan sebaliknya, jumlah penduduk miskin di Indonesia terus menurun secara konsisten dengan penurunan yang cukup fantastis, yakni mencapai 3,94 juta jiwa sepanjang 2008-2010. Jumlah penduduk miskin yang dilaporkan BPS juga jauh lebih rendah dibanding laporan ADB, yakni hanya sebanyak 34,96 juta jiwa di 2008 dan 31,02 juta jiwa di 2010.
Wajar kalau kemudian perbedaan yang begitu jomplang ini telah memunculkan kekhawatiran bahwa telah terjadi apa yang disebut sebagai “politik angka kemiskinan” oleh Perkumpulan Prakarsa. Apalagi, setelah ditelisik ternyata sumber perbedaan itu adalah perbedaan standar atau garis kemiskinan yang digunakan. Garis kemiskinan yang digunakan BPS ternyata sedikit lebih rendah dibanding garis kemiskinan yang digunakan ADB
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pernyataan di atas dapat kita tarik kesimpulan politik dan kemiskinan saling berhubungan di mana sebuah partai politik dapat ikut campur dalam hal ini di karnakan dalam mengikut sertakan sebuah partai dalam hal kemiskinan maka partai tersebut akan mendapat sebuah pencitraan baik dari masyarakat. Adapun berbagai cara memberantas kemiskinan :
• Kesadaran dari masyarakat itu sendiri untuk dapat kehidupan yang lebih layak.
• Membuka/menciptakan lapangan pekerjaan.
Langganan:
Postingan (Atom)